Membedah Kultur Masyarakat: Perbedaan Gaya Komunikasi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatra

Sumber Ilustrasi: Pixabay

Pernahkah kamu yang asalnya dari Jawa bertemu dengan orang asli Sumatra, ataupun sebaliknya? 

Pasti hal pertama yang umum terjadi adalah culture shock, si orang Jawa kaget saat lawan bicaranya ngomong dengan nada yang tinggi dan blak-blakan. Sedangkan si orang Sumatra kesal melihat lawan bicaranya tidak to the point dan muter-muter (mbulet). 

Mengapa masyarakat Jawa dan Sumatra memiliki perbedaan gaya dalam berkomunikasi sehari-hari? Walaupun mereka berasal dari rumpun bangsa yang sama, tetapi kenapa bisa kontras perbedaannya? Mari kita kupas habis fenomena sosial ini!

Alam yang Membentuk Manusia

Bangsa Austronesia yang mengisi sebagian besar populasi Asia Tenggara ini berasal dari satu sumber yang sama yaitu sebuah tempat bernama Pulau Formosa.

Tetapi sebagai sebuah makhluk yang dinamis, mereka pada akhirnya mengembangkan corak khas mereka masing-masing sesuai dengan kebutuhan dan tantangan alam yang mereka hadapi pada masing-masing pulau. 

Geografi Asia Tenggara yang didominasi kepulauan telah menjadi lahan yang ideal bagi tiap-tiap masyarakat di pulau yang berbeda, untuk mengembangkan corak budaya mereka masing-masing.

Tanah Jawa yang subur serta kaya akan mineral dari aktivitas vulkanik dan sedimentasi sungai, telah menumbuhkan masyarakat agraris yang sangat ketergantungan pada pertanian dan hasil bumi.

Sedangkan Selat Malaka yang menjadi choke point bagi lalu lintas perdagangan global, telah memperkaya pesisir-pesisir tanah Melayu dengan para pelaut-pelaut yang ulung.

Dua arus utama masyarakat yang menghiasi ragam kebudayaan Nusantara kalau bukan sikap berterus terang, maka selain itu ya sikap menyembunyikan.

Feodalisme di Tanah Jawa

Masyarakat yang hidup di tanah Jawa adalah orang-orang yang enggan untuk berkonflik, dan akan melakukan segala macam cara untuk meminimalisir konflik antar sesamanya. 

Ini sangat berbeda dengan kebudayaan masyarakat yang hidup di lingkungan ekstrim dengan sumber daya yang terbatas seperti di Arab, yang mana masyarakatnya mengembangkan budaya perang dan konflik yang kental untuk memperebutkan SDA.

Di Nusantara, terkhususnya Pulau Jawa, hal semacam perebutan sumber daya alam tidak akan terjadi atau sangat minim dampaknya, karena sudah melimpah ruah dimana-mana.

Kultur masyarakat Jawa sangat erat dengan stratifikasi sosial. Orang Jawa itu memiliki semacam falsafah hidup bahwa tiap-tiap anggota dalam masyarakat harus memiliki perannya masing-masing berdasarkan stratanya. Bahkan dalam berbahasa saja, bahasa Jawa dibagi dua menjadi Jawa halus dan Jawa kasar. Ini semakin memperbesar jurang antara kaum aristokrat dan rakyat jelata di Jawa.

Hasilnya, karena kebudayaan feodal mengakar kuat di kehidupan, masyarakat Jawa terkenal dengan wataknya yang serba menerima (nrimo ing pandum), suka berbasa-basi (unggah-ungguh) dan tidak suka berterus terang dengan niat aslinya dalam berkomunikasi untuk meminimalisir konflik dan menghindari konfrontasi secara langsung.

Berkebalikan dengan saudaranya yang tinggal di Pulau Sumatra, disini masyarakat hidup secara lebih egaliter dan komunal. Konsekuensinya mereka jadi lebih berani dan terbuka untuk menyampaikan niat yang sesungguhnya (blak-blakan) tanpa harus terlalu memikirkan tentang strata dan kelas sosial.

Sebagai sebuah kata penutup, saya ingin menegaskan bahwa artikel ini tidak bermaksud untuk menunjukkan mana kebudayaan yang jauh lebih superior dan mana yang inferior! Sebuah kebudayaan adalah hasil respon tanggapan manusia terhadap tantangan alam dan lingkungan sekitarnya. Tidak ada budaya yang jauh lebih mulia, hanya berbeda saja sesuai keadaan alam yang dihadapi.

Daftar Referensi

  • Luvina. 2019. "Orang Jawa Nggak Cocok Sama Orang Sumatra: Stereotip atau Fakta?" https://medium.com/@alyaluvina/orang-jawa-nggak-cocok-sama-orang-sumatra-stereotip-atau-fakta-dc6f4b9a91c (diakses pada tanggal 20 September 2023)
  • Aidit, D.N. 1957. "Indonesian Society and the Indonesian Revolution" https://www.marxists.org/history/indonesia/1957-IndonesianSociety.htm (diakses pada tanggal 20 September 2023)
  • Sud, Nikita. 2019. "Manusia merombak alam, tapi alam membentuk manusia" https://theconversation.com/manusia-merombak-alam-tapi-alam-membentuk-manusia-128009 (diakses pada tanggal 20 September 2023)
Nafisathallah
Seseorang yang mengagumi ilmu pengetahuan.

Related Posts

Post a Comment

REKOMENDASI UNTUKMU