Raja yang Tidak Dimengerti

Seorang raja yang ideal bagi rakyat bukanlah dia yang sempurna di segala hal, namun ia yang bisa mengerti perasaan rakyatnya.

Itulah anggapan umum yang membuat seorang raja dari abad pertengahan menjadi gusar. 


Ia tidak disukai selama masa pemerintahannya sebab pendiriannya yang mana setiap ada kebijakan baru diterapkan, itu selalu dibuat dengan tidak mempertimbangkan kesenangan rakyatnya.

Padahal, beliau adalah raja yang paling berprestasi, bahkan bisa dikatakan termahsyur sepanjang berdirinya Imperium Britania. 

Ia mampu mengusir penjajah sampai ke akar-akarnya yang terakhir, sebuah pencapaian yang belum pernah sama sekali diperoleh para pendahulunya.

Namun, yang menjadi kontroversi dalam pemerintahannya adalah kebijakan untuk mengorbankan satu desa saat pasukan penjajah menyerbu negerinya. 



Maksud dari tindakan ini adalah agar para ksatrianya dapat mempersiapkan armada perang yang lengkap sehingga dapat bertempur lebih efisien dan efektif.

Setelah melewatkan banyak pengorbanan dan kemenangan terus-menerus, kondisi politik dan kepuasan rakyat tetap saja tidak membaik.

Semakin ia meraih keberhasilan, semakin orang-orang menjauh darinya.

" Namun paduka, jika terus-menerus seperti ini pemberontakan di seantero negeri tidak dapat dielakkan, ini bisa bergejolak kapan saja," kata seorang penasihat kepada rajanya.

" Bukannya aku paling mengerti apa yang mereka inginkan, namun apa yang mereka butuhkan," sahutnya.

Setiap keputusannya dibuat tanpa mempertimbangkan popularitasnya, namun lebih kepada ketepatan guna serta manfaatnya.

Ia tidak perlu risau soal cibiran serta gosip yang tersebar luas tentangnya diantara orang-orang recehan.


Namun hal itu semakin menjadi-jadi sampai menarik perhatiannya, tatkala salah satu diantara ksatrianya berkata " Sang raja tidak mampu memahami perasaan manusia!"

Di depannya langsung, dihadapan seluruh petinggi-petinggi kerajaannya yang lain, menjatuhkan kewibawaannya. 

Ksatria itu pun meninggalkan istana dan mencabut sumpah setianya kepada raja. 

Hal tersebut menimbulkan gonjang-ganjing di dalam internal kerajaan.

"Apakah sungguh raja kita benar-benar tidak mampu memahami manusia?" celetukan seperti itu menjadi tidak asing lagi di istana, bahkan perdana menterinya sudah tidak dapat lagi dipercaya.

Semua sampai pada puncaknya disaat sekelompok ksatria pengkhianat yang dipandu perdana menteri mengobarkan kudeta.

Raja yang sudah menyadari ini sejak lama, segera mempersiapkan ksatria kepercayaannya yang masih mengabdi, untuk maju bersamanya ke garis pertempuran terakhir mereka.



Pasukan pemberontak yang ternyata sudah berkumpul di negeri seberang, malah berkomplot dengan para penjajah untuk bersatu menggulingkan pemerintahan raja yang sah. Ketidakstabilan di dalam negeripun dimanfaatkan para penjajah untuk mencoba merongrong kerajaan di masa sulitnya.

Dengan begini pasukan raja pastinya kalah jumlah. Tahu bahwa tidak mungkin pasukannya akan menang, atas ramalan seorang penasihat akhirnya raja pergi ke bukit yang ada di belakang kerajaan. 

Konon, bukit itu diberkati kaum peri sehingga kejahatan apapun pasti akan dikalahkan disana juga.

Warga disekitar bukit yang mengerti akan hal ini melaporkannya kepada para pemberontak, mereka pun juga menyusul raja ke bukit tersebut. 


Usut punya usut, ternyata kedatangan para pemberontak ke tanah penjajah bukan untuk bekerja sama.

Melainkan, demi menipu mereka dengan perjanjian damai dan selanjutnya disaat pasukan penjajah lengah, terjadilah pembantaian besar-besaran di balai kota negeri seberang. 

Para penjajah telah lenyap dan sekarang giliran sang Raja.

Pertemuan mereka diawali dengan sorakan para pemberontak " Kita akan menang, seharusnya tidak akan ada dikorbankan, satu-satunya yang harus mati hanyalah para penjajah!"


Konfrontasi tidak dapat dihindarkan, walau sesungguhnya Raja tidak menginginkan hal ini untuk terjadi, namun melihat negosiasi tidak mungkin lagi dapat diusahakan pada otak pemberontak yang sudah kalap, mereka tidak punya banyak pilihan.

Raja tertusuk tombak tepat di jantungnya, semua ksatrianya habis dibantai, ramalan itu tidak lebih dari kebohongan, atau sekedar tahayul. Bagaimanapun juga sang Raja tidak menyalahkan siapapun di detik-detik terakhir hidupnya karena baginya itu adalah sia-sia.

Dengan sigap, dalam nafas yang tersisa di dadanya, ia menghunuskan pedang kepada pemimpin pemberontak tersebut dan berkata " Kau tidak layak menjadi raja negeri ini."

Pada akhirnya, sang Raja sesungguhnya dapat memahami perasaan rakyatnya, namun ia lebih memilih untuk mengabaikannya, sebab ia tak sudi keputusannya tercemar dengan hasrat pribadi. 

Sang Raja tetaplah raja yang buruk di mata para rakyat dan ksatria-ksatrianya. Namun jauh di dalam benak sang raja, ia tidak pernah menyalahkan dirinya sendiri, maupun orang lain atas semua musibah yang menimpanya.


Hanya saja ia lahir dan besar di waktu yang salah, tempat yang salah, masyarakat yang salah, Raja ini terlalu sempurna untuk standar moral rakyatnya tersebut, kebijakannya melangkah terlalu jauh untuk dapat dipahami mereka yang awam.

Penyihir yang sebelumnya sudah meramalkan akan akhir dari pertempuran tersebut, sebenarnya tidak salah. 

Kejahatan memang akan dikalahkan namun bukan dengan membunuh penjahatnya, melainkan untuk segera mengangkat semua orang baik dari dunia ini. 

Dan membiarkan dunia menjadi neraka  Ini semua sudah masuk ke dalam bagian dari konspirasi si penyihir. 

Ia dengan segera meminta tolong kepada kaum peri yang tinggal di bukit tersebut untuk mengangkat kesadaran sang Raja ke alam lain sebagai tempat peristirahatan terakhirnya, dalam keabadian ia pun menjadi penunggu tanah Britania.
Nafisathallah
Seseorang yang mengagumi ilmu pengetahuan.

Related Posts

Post a Comment

REKOMENDASI UNTUKMU