Sebelumnya, tepatnya 10 tahun yang lalu. Norwegia bekerja sama dengan pemerintah kita dalam program REDD+ ( Reduction Emissions from Deforestation and Forest Degradation ) dalam bidang lingkungan hidup. Yakni sebuah perjanjian yang mana Indonesia diharuskan untuk mengurangi emisi gas karbon dioksidanya baik itu dari industri maupun rumah tangga.
Ini semua tidak terlepas dari yang namanya perdagangan karbon! Apa itu perdagangan karbon/carbon trade?
Akar Masalah
Untuk memahami ini semua, pertama-tama alangkah baiknya kita mengetahui latar belakang dan permasalahan awal kenapa bisa terjadi yang namanya Bisnis Karbon.
Semenjak mesin uap ditemukan dan industrialisasi disegala sektor kehidupan manusia modern, telah terjadi peningkatan jumlah gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metana yang dihasilkan dari proses pembakaran energi seperti baru bara dan minyak bumi.
Akibat dari meningkatnya jumlah emisi gas-gas tersebut telah berdampak kepada lingkungan di bumi ini secara luas. Yang belakangan ini sering kita sebut sebagai Pemanasan Global, yakni sebuah peristiwa dimana terjadinya kenaikan suhu rata-rata yang ada di permukaan bumi.
Sekecil apapun perubahan, sedikit apapun guncangan, tentunya akan berdampak besar bagi ekosistem di bumi ini yang sudah beradaptasi selama berjuta-juta tahun lamanya.
Maka dari itu, seluruh negara dari penjuru dunia yang tergabung dalam PBB segera merapatkan masalah ini. Hingga meruncing sampai pada puncaknya yakni pada Protokol Kyoto tanggal 11 Desember 1997.
Salah satunya termasuk juga negara kita Indonesia. Konvensi ini bertujuan untuk mengurangi pengeluaran karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya yang bisa mengakibatkan pemanasan global serta perubahan iklim.
BACA JUGA: Membuang Sampah pada Tempatnya Tidak Menyelesaikan Masalah
BACA JUGA: Membuang Sampah pada Tempatnya Tidak Menyelesaikan Masalah
Namun nampaknya pertemuan antar kepala-kepala negara di dunia ini tidak cukup untuk diterapkan diamalkan oleh setiap pemerintahan, karena ada juga sebagian negara yang menolak menjalankannya, seperti Amerika Serikat contohnya.
Tentu saja mereka tidak ingin melakukannya, karena itu akan sangat berdampak bagi perekonomian dan industri yang ada di negaranya karena setiap pabrik harus mengurangi jumlah gas buangan yang mana itu berarti harus mengurangi jumlah barang yang diproduksi pula.
Lalu untuk menutupi hal tersebut, konferensi serupa kembali diadakan di Paris, Perancis pada 30 November 2015. Hal yang dibahaspun seputar masalah perubahan iklim dan Global Warming.
Dengan adanya Protokol Kyoto dan Persetujuan Paris ini berarti mengharuskan setiap pemerintahan negara yang bergabung untuk segera menerapkan dan membuat undang-undang serta peraturan yang mengatur tentang emisi gas yang dihasilkan pabrik-pabrik industri.
Undang-undang tersebut tentunya akan mengatur sebuah kebijakan dimana para perusahaan yang memiliki pabrik yang membuang limbah berupa emisi gas karbon dioksida atau emisi gas lainnya untuk mengurangi limbah yang mereka buang.
Logikanya kan kalau mau mengurangi emisi yang dihasilkan pabrik itu berarti pabriknya harus mengurangi jumlah barang yang diproduksi dong agar asapnya berkurang? iya gak! Nahh dengan berkurangnya jumlah barang yang bisa dihasilkan akan berujung pada menurunnya jumlah pendapatan dan laba perusahaan.
Tentulah ini sangat merugikan bagi perusahaan manapun. Perusahaan mana juga yang mau kegiatan produksinya dibatasi jumlahnya. Maka dari itu, jika para perusahaan tersebut tidak mau mengurangi jumlah produksi mereka boleh mengambil jalan alternatif yang lebih tidak merugikan.
Yakni dengan perdagangan karbon tadi! Perusahaan tersebut harus berinvestasi dan memberi dana dalam membantu pelestarian lingkungan, boleh di luar negeri ataupun di dalam negeri. Dalam hal ini Norwegia membayar Indonesia atas hutan dan lahan gambutnya yang luas yang dapat menyerap karbon dioksida, dan dibayar sebanyak jumlah karbon yang dapat diserap hutan Indonesia.
Kesimpulan
Lalu apa sih sebenarnya yang dijual dan dibeli dalam bisnis karbon? Tentunya para perusahaan tersebut memerlukan lisensi agar dapat terus mendapatkan izin beroperasi dari pemerintah, jelas disini perusahaan sangat membutuhkan hutan-hutan kita.
Untuk pemasaran juga sangat berguna, produk-produk mereka dapat menyandang gelar ' ramah lingkungan ' karena perusahaan mereka telah berkontribusi dalam pendanaan dan membantu pelestarian lingkungan di daerah tropis, seperti Indonesia.
Kasarnya sih bisa kita bilang, kita menjual udara bersih kepada mereka dan mencegah perubahan iklim yang sangat ditakut-takuti tersebut.
Sumber Referensi :
Post a Comment
Post a Comment