Gotong royong bukanlah hal yang asing lagi di telinga masyarakat Indonesia, baik mereka yang terlahir sebelum millennium kedua maupun setelahnya. Di perkotaan maupun pedesaan, pernah ataupun tidaknya mereka melakukan gotong royong sebelumnya, mereka pasti pernah mempelajari dan mendengar kata yang sangat familiar dengan mata pelajaran PPKN ini.
Gotong Royong Gagal Sebagai Pedoman Kehidupan
Seakan sudah menjadi doktrin ideologi yang terstruktur secara masif, hampir bisa dibilang semua warga Indonesia pasti tahulah apa yang dinamakan gotong royong yang tadi kita singgung sebelumnya. Memang jika ditanyai satu per satu, orang-orang kita akan menjawab “ Gotong royong adalah bersama-sama mengerjakan suatu hal untuk mencapai tujuan bersama.” Namun pada kenyataannya gotong royong adalah produk gagal di lapangan dengan realita yang ada dihadapan kita sekarang ini.
Disarankan Baca : Meluruskan Pembencian Tidak Berdasar Kepada Yahudi yang Tidak Berdosa
Mengapa saya berani mengatakannya sebagai sesuatu kegagalan? Karena hakikat dasar dari gotong royong itu sendiri yang berlandaskan pada kesukarelaan dan kesadaran kolektif masing-masing individu. Tidak ada satupun ayat dan kalimat di dalam ideologi kita, dasar negara, dan konstitusi kita yang dengan jelas, secara gamblang dan eksplisit menjelaskan apa hukuman dan konsekuensi yang kita terima tatkala tidak mau menerapkan semangat gotong royong tersebut di dalam kehidupan, tidak ada!
Ya, pada dasarnya suka-suka hati kita saja, bebas-bebas saja ingin menjalankan dan menjadikannya sebagai pedoman hidup atau tidak, tohh kalau kita tidak mau mengikuti kerja bakti di kampong kita tidak akan dipenjara dan dipancung kok. Iya ngak? Hanya saja mungkin kita akan dipandang sinis oleh warga sekitar dengan tatapan julid dan mengata-ngatai kita dalam hati sebagai orang yang individualistik, egois, hanya mementingkan dirinya sendiri, materialistis, lain-lain lah pokoknya.
Mungkin di tahun-tahun sebelumnya, seperti 1970-1980an, fenomena seperti globalisasi dan masuknya pemikiran serta paham-paham ideologi baru dari luar belum segencar dewasa ini, apalagi di tambah dengan kemudahan akses media komunikasi dan informasi, serta semakin didukung keleluasaannya dengan kebebasan berpendapat. Membuat fenomena semakin memudarnya asas gotong royong menjadi sebuah realita yang semakin kuat baunya dan menjadi kebenaran yang tidak dapat ditolak lagi validitasnya.
Pemerintah juga sepertinya tidak dapat memaksakan kehendaknya kepada rakyat untuk harus bersikap gotong royong, karena itu adalah persoalan masalah hati nurani dan kerelaan tiap individu, bukan kewajiban! Kalau sempat negara memaksakannya pastilah kita akan menjadi negara otoriter. Namun kalau tidak dipaksakan? Yahh, ujung-ujungnya hanyalah akan menjadi sekedar pajangan dan hiasan pemperpanjang tebal halaman buku undang-undang kita. Waduhh gimana nihh? Dilema kan?
Sekeras apapun negara menggalakkan program bela negara, acara pentas seni lokal, festival kebudayaan daerah, tetap tidak ada artinya jika bukan rakyat yang bergerak sendiri secara sadar. Nilai-nilai luhur negara ini hanya akan bisa terus menerus lestari jika kemauan dari penduduknya yang ingin terus melestarikannya, dan negara tidak bisa berbuat banyak saat orang-orang tidak mau lagi menggunakannya! Apakah lantas negara langsung membuat peraturan yang mengikat setiap warganya untuk harus melestarikan kebudayaannya? Kan tidak mungkin se otoriter itu negara demokrasi ini?
Itulah kebudayaan, kebiasaan dari suatu komunitas masyarakat yang silih berganti menggantikan satu sama lainnya, yang mana yang sudah tidak relevan dan tidak menarik bagi komunitasnya, bakal ditinggalkan dan dilupakan oleh generasi selanjutnya. Ini sama saja halnya dengan seleksi alam siapa yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya maka ia berhasil survive, namun bagi mereka yang tidak mau melakukan evolusi dan adaptasi dengan lingkungan barunya akan berakhir dengan kepunahan.
Begitu pulalah dengan gotong royong! Dan yang begitu pula ingin dijadikan oleh founding father kita sebagai salah satu usulan dasar negara, dan baru-baru ini juga usulan dari para DPR yang ingin menyederhanakan Pancasila menjadi Ekasila dengan hanya satu sila yakni Gotong Royong. Sedangkan gotong royong tersebut adalah sebuah kebudayaan yang mana akan hilang sendirinya seiring modernisasi dan globalisasi. Semangat Nasionalisme pun juga lama kelamaan akan pudar dan berakhir saat semua manusia di bumi ini sudah mulai mengerti satu sama lain, dan menganggap sistem pengkotak-kotakan oleh penguasa negara di bumi ini merupakan sebuah sistem yang mengekang umat manusia hanya untuk kepentingan elit.
Jika terus menerus pendekatannya hanya berupa sosialisasi dan penanaman doktrin sejak dari kecil tanpa diberi tahu kesadaran dan realita akan pentingnya gotong royong di beberapa fase dan titik dalam peradaban. Bukan tidak mungkin semangat gotong royong hanya tinggal menjadi catatan tulisan di dalam buku PPKN anak-anak kita, dan menjadi sekedar formalitas di pidato para pejabat.
Baca Juga : Pembahasan Seputar Malfungsi Hukum
Entah peristiwa besar macam apakah yang dapat membuat umat manusia terpaksa kembali menggunakan sistem gotong royong ini, peristiwa besar itu pastinya harus dapat menyatukan semua umat manusia yang berbeda-beda dari segala macam tujuan, motif, latar belakang, kepercayaan, atau bahkan gender. Entah itu ancaman dari makhluk luar alien? Ataukah bencana maha dahsyat dari tuhan? Atau bahkan wabah mematikan? Hanya realita sesungguhnyalah yang dapat menjawab dengan akurat, atau malah umat manusia semakin jatuh kedalam lubang keegoisan diri sendiri.
Post a Comment
Post a Comment